Saat Persalinanku, Keluarga Suami "Tak Satu Pun yang Datang", Sehingga Aku Memilih Nama Anakku, Tapi Karena "Hal Ini" Mereka Malah Marah Bukan Main!

Ibuku meninggal ketika aku umur 4 tahun, meninggalkan ayahku sendiri untuk menjaga kakakku yang berumur 6 tahun dan aku. Banyak orang yang diam-diam menertawakan keluargaku karena tidak ada anak laki-laki. Menertawakan karena ayahku tidak menikah lagi untuk membuahkan anak laki-laki.

Ayahku sangat menyayangi kami berdua. Ia kerja mati-matian untuk mencukupi hidup kami. Dari kecil, aku berharap mempunyai seorang ibu, tapi juga takut suatu hari ayah membawa "ibu baru" pulang. Aku juga berharap suatu hari nanti mertua dapat berperan sebagai ibuku. Aku akan menjaga dan mencintainya seperti ibu sendiri.

Alasan aku jatuh cinta dengan suamiku karena ia sangat taat dan sayang kepada ibunya yang sekarang adalah mertuaku. Kata suami, ibunya adalah seorang yang sangat lembut dan mencintai anak. Sebelum menikah, aku sering datang kerumahnya. Mertuaku sangat ramah dan mudah bergaul. Sepenuhnya seperti ibu yang saya inginkan. Setelah dua tahun pacaran, kami pun memutuskan untuk menikah.



Setelah menikah, aku benar-benar menganggap keluarga suamiku seperti keluargaku sendiri. Lagipula, aku telah menjadi seorang istri, maka aku juga lebih rajin untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi, tidak lama kemudian terjadi masalah. Aku tidak tahu apakah aku terlalu rajin, sehingga jika aku tidak selesai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, keluarga suamiku akan mengomel. Adik suamiku sudah umur 20 tahun, tapi tidak pernah mencuci baju sendiri. Malah mengeluh aku tidak membantunya mencuci baju. Kakak laki-lakinya lebih lucu lagi, sudah umur 30 tahun masih suruh aku yang mencuci celana dalam dan sepatunya.

Yang lebih parahnya lagi, setiap kali rumah kedatangan tamu, semuanya duduk di ruang tamu menemani tamu sambil nonton tv dan makan. Sedangkan aku sendirian di dapur menyiapkan makanan buat tamu mereka. Jangan berharap ada yang mau bantu aku, cuci piring aj tidak ada yang mau.

Hal ini sudah sering terjadi. Aku memperlakukan mereka seperti keluarga, tapi mereka memperlakukanku layaknya seroang pembantu. Ternyata mertua ramah yang aku lihat dulu hanyalah ilusi. Suamiku? Perasaan dia terhadap aku nyata, tapi jika berkaitan dengan keluarganya, mau aku ngomong apa juga tidak berguna.

Suatu hari, aku tidak tahan dan bertengkar dengan mertuaku. Aku terbiasa memberi ayahku uang jajan 500.000 rupiah per bulan. Mertuaku dulu pernah mengatakan bahwa setelah menikah keluargaku adalah keluarganya. Tapi, sekarang dia mengoceh aku tidak mau memberinya uang.



Benar-benar deh. Sebulan gajiku 2 juta, lalu aku memberi ayahku 5 ratus ribu. Keterlaluan kah? Mertuaku juga mengatakan supaya aku memberinya 1 juta tiap bulan. Katanya ingin membantu kita berdua kumpul uang supaya suatu hari nanti kita dapat membeli rumah. Alasan ini masuk akal sehingga aku pun dengan bodoh memberi sesuai permintaannya.

Aku pikir hal ini sudah selesai, tidak tahunya dua tahun kemudian ayahku masuk rumah sakit. Biayanya kira-kira 90 juta. Aku minta uang yang dulu dia bantu aku simpan untuk keadaan darurat ini. Tapi ia tidak mau memberi. Aku tidak minta uang suamiku, aku hanya minta uangku saja kok susah? Ia malah marah-marah dan mengatakan karena kita tidak kunjung punya anak, uangnya diberikan kepada kakak suamiku untuk membeli rumah.

Mendengar hal itu, aku marahnya bukan main. Apa maksudnya? Itu uangku! Sudah tersimpan kira-kira 45 juta, dan sama sekali tidak bilang apa-apa dengan begitu saja diberikan kepada orang lain. Diberikan loh, bukan dipinjam. Ayahku ada uang, tapi aku ingin membantu. Jangan bilang orang lain mendengar hal ini bisa memarahiku, aku saja kesal dengan diriku sendiri.

Pada akhirnya, aku meminjam 45 juta kepada kakak iparku untuk diberikan kepada ayahku. Sejak hari itu, hatiku mulai dingin terhadap keluarga ini. Aku tidak mau menjadi orang bodoh lagi.

Ketika aku hamil, mertuaku suruh aku kembali ke rumahnya untuk menjaga aku. Aku kesal, boleh aku tinggal di rumahmu, tapi saat ayahku butuh uangnya mana? Kembalikan uangku, aku cari suster untuk jagain aku, masak makanan yang sehat dan kasih kamu cucu yang gendut. Mendengar perkataanku, mertua tidak mengatakan sepatah kata pun dan tidak pernah menjagaku.

Suatu hari, aku pernah sembelit sehingga lama di toilet. Hal itu menyebabkan aku bertengkar dengan adiknya suamiku sehingga dia menangis. Semua orang menghiburnya dan tidak ada yang sadar bahwa perutku sakit. Akhirnya, aku menghubungi ayahku dan ia yang mengantarku ke rumah sakit.



Proses persalinanku kira-kira 10 jam. Kakakku dan kakak ipar, bibiku, semua dari pihak keluargaku sudah datang. Tapi, ketika aku keluar dari ruang persalinan, batang hidung suamiku tidak kelihatan apalagi keluarganya. Ayahku sudah memberitahu mereka, tapi tidak ada satu pun yang datang.

Aku berpikir dalam hati, keluarga itu benar-benar keterlaluan. Tidak mengantar saya ke rumah sakit ya sudahlah, tapi tidak ingin melihat anak dan cucunya sendiri? Aku ingin mereka tahu rasa, aku ingin membuat mereka menyesal. Benar saja, hari esok suami dan mertua baru tiba. Ketika mereka melihat nama di akte kelahiran, mereka langsung meledak. Nama keluarga ku adalah Chen, sedangkan nama keluarga suami ku Wang. Aku menamakan anakku dengan margaku, toh mereka tidak peduli. Lagipula, ayahku melahirkan dua perempuan, pas-pasan ada yang bisa menjadi penerus keluarga kami. Kakak suamiku juga belum menikah, sedangkan adik suamiku juga tidak kunjung hamil. Sekarang, tentu saja mereka marahnya bukan main.

Keluarga suamiku langsung adu mulut dengan keluargaku. Mereka bilang darah anakku itu dari suamiku dan kudu ganti marga. Aku mengatakan bahwa suamiku hanya modal sperma saja, aku yang mengandung selama 10 bulan dan siapa yang sakit berjam-jam? Aku! Kalian ada membantu apa? Sekarang mau aku ganti nama! Kalau berisik lagi, ya sudah cerai saja. Lihat saja anakku tidak bakal aku kasih lihat lagi.

Mendengar ucapanku, semuanya langsung terdiam. Ketika sudah waktunya aku keluar dari rumah sakit, mertuaku yang menjemputku. Mereka juga membelikanku berbagai produk kesehatan. Adik suami juga tidak berani suruh-suruh aku lagi. Mereka masih ingin aku ganti marga, tapi aku tidak gubris. Mereka juga ingin aku buru-buru punya anak lagi. Anak kedua? Kalau keluarga terus baik aku masih bisa pertimbangkan, tapi kalau mereka seperti dulu? Siapa yang mau?

Sumber: Coco

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Saat Persalinanku, Keluarga Suami "Tak Satu Pun yang Datang", Sehingga Aku Memilih Nama Anakku, Tapi Karena "Hal Ini" Mereka Malah Marah Bukan Main! "

Posting Komentar